SELALU MENCEMBURUIMU...
(Mengenang Ustadz Abdurrahim)
“Aku selalu mencemburuimu...”
Itulah barisan kata yang segera terlintas
setiap kali saksikan seorang pejuang
yang gugur di garis perjuangan.
“Aku selalu mencemburuimu...”
Aku mencemburuimu,
kerna engkau mengukir jejak kebaikanmu
sebegitu indahnya.
Aku mencemburuimu,
kerna kepergianmu begitu indah,
menyibak semua kebaikan yang slama ini
tersembunyi penuh misteri,
seolah berucap pada jejak zaman:
“Nantikanlah, hingga hari jenazahku tiba...”
Maka cemburuku pun semakin berkobar,
saat kulihat rambutmu memutih di jalan ini.
Saat masa mudamu tuntas-lunas di jalan ini.
Hingga nafas terakhirmu pun beranjak pergi:
dan engkau masih penuh setia di jalan ini.
Duhai,
Keindahan apalagi yang melebihi ini?
Adakah yang melebihi indahnya
seorang hamba yang beranjak dari dunia,
dan ia tetap teguh-setia di jalan para Nabi?
Aku mencemburuimu:
karena aku sunggu tak pernah tahu,
apakah Rabb-ku perkenankan aku
menikmati keindahan serupa dengan keindahanmu,
atau yang lebih indah dari itu?
Sungguh,
aku berpijak antara harap dan cemas
tentang itu semua...
Aku mencemburuimu:
saat jiwaku tersadar:
jejak-jejakku begitu payah dan tertatih.
Jiwaku masih lemah diliputi kemalasan.
Hasrat keshalihanku begitu lemah.
Sanggupkah aku memburu bayang keindahanmu?
***
Tapi akhirnya engkau harus pergi juga.
Pergi di jejak hari yang tak terduga.
Engkau beranjak saat derai air mata
belum lagi tuntas untuk kuseka...
Maka harus juga kusadarkan hati:
aku akan kehilangan ketulusanmu yang murni.
Aku akan kehilangan kehangatanmu tanpa bunyi.
Tapi jejak-jejakmu sudah begitu dalam di sini.
Hingga meski aku lupa jejak waktu awal bertemu:
tiba-tiba saja engkau hadir di jalan ini,
membersamaiku dengan sepenuh kerendahan hati,
seakan aku ini sang pewaris Nabi,
padahal yang ada tak lebih dari
seorang pecinta yang payah, tak sadar diri...
***
Pergilah, Tuan “Ustadz Abah”...
Biarkan aku dengan cemburu yang gelora ini,
agar ia membakar jiwaku yang sunyi ini,
mengukir jejak yang melebihi indah jejakmu,
mengukirnya dengan sekuat-kuat hati,
hingga kelak tiba pula saatnya untuk pergi...
Semoga Dia Tuhan yang Haq penuh cinta:
menautkan kisah-kisah dunia kita
kembali berpadu dalam kisah-kisah Surga Firdausi,
dimana kita akan bertatap wajah dengan para kekasih hati:
para Rasul dan Nabi,
para syuhada semerbak kesturi,
dan para shalihin indah berseri.
Aamiin...
Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin
https://IhsanZainuddin.com
https://t.me/IhsanZainuddin (Telegram)
(Mengenang Ustadz Abdurrahim)
“Aku selalu mencemburuimu...”
Itulah barisan kata yang segera terlintas
setiap kali saksikan seorang pejuang
yang gugur di garis perjuangan.
“Aku selalu mencemburuimu...”
Aku mencemburuimu,
kerna engkau mengukir jejak kebaikanmu
sebegitu indahnya.
Aku mencemburuimu,
kerna kepergianmu begitu indah,
menyibak semua kebaikan yang slama ini
tersembunyi penuh misteri,
seolah berucap pada jejak zaman:
“Nantikanlah, hingga hari jenazahku tiba...”
Maka cemburuku pun semakin berkobar,
saat kulihat rambutmu memutih di jalan ini.
Saat masa mudamu tuntas-lunas di jalan ini.
Hingga nafas terakhirmu pun beranjak pergi:
dan engkau masih penuh setia di jalan ini.
Duhai,
Keindahan apalagi yang melebihi ini?
Adakah yang melebihi indahnya
seorang hamba yang beranjak dari dunia,
dan ia tetap teguh-setia di jalan para Nabi?
Aku mencemburuimu:
karena aku sunggu tak pernah tahu,
apakah Rabb-ku perkenankan aku
menikmati keindahan serupa dengan keindahanmu,
atau yang lebih indah dari itu?
Sungguh,
aku berpijak antara harap dan cemas
tentang itu semua...
Aku mencemburuimu:
saat jiwaku tersadar:
jejak-jejakku begitu payah dan tertatih.
Jiwaku masih lemah diliputi kemalasan.
Hasrat keshalihanku begitu lemah.
Sanggupkah aku memburu bayang keindahanmu?
***
Tapi akhirnya engkau harus pergi juga.
Pergi di jejak hari yang tak terduga.
Engkau beranjak saat derai air mata
belum lagi tuntas untuk kuseka...
Maka harus juga kusadarkan hati:
aku akan kehilangan ketulusanmu yang murni.
Aku akan kehilangan kehangatanmu tanpa bunyi.
Tapi jejak-jejakmu sudah begitu dalam di sini.
Hingga meski aku lupa jejak waktu awal bertemu:
tiba-tiba saja engkau hadir di jalan ini,
membersamaiku dengan sepenuh kerendahan hati,
seakan aku ini sang pewaris Nabi,
padahal yang ada tak lebih dari
seorang pecinta yang payah, tak sadar diri...
***
Pergilah, Tuan “Ustadz Abah”...
Biarkan aku dengan cemburu yang gelora ini,
agar ia membakar jiwaku yang sunyi ini,
mengukir jejak yang melebihi indah jejakmu,
mengukirnya dengan sekuat-kuat hati,
hingga kelak tiba pula saatnya untuk pergi...
Semoga Dia Tuhan yang Haq penuh cinta:
menautkan kisah-kisah dunia kita
kembali berpadu dalam kisah-kisah Surga Firdausi,
dimana kita akan bertatap wajah dengan para kekasih hati:
para Rasul dan Nabi,
para syuhada semerbak kesturi,
dan para shalihin indah berseri.
Aamiin...
Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin
https://IhsanZainuddin.com
https://t.me/IhsanZainuddin (Telegram)
Komentar
Posting Komentar