Langsung ke konten utama

Tak Cukup Bermodalkan Ikhlas

Sumber: google

Allah berfirman,
“وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (Q.S Adz-dzariyat: 56)
Saudariku, muslimah…
Telah jelas bagi kita dari firman Robb, perkataan Tuhan kita bahwa tujuan utama kita hidup tak lain ialah semata-mata beribadah kepada-Nya. Begitu banyak manusia yang kelimpungan, bingung, bertanya-tanya apa tujuan hidup mereka? Bahkan banyak yang akhirnya frustasi dan memilih tenggelam dalam gemerlap dunia, ada pula yang memutuskan untuk mencari dan menetapkan tujuan hidupnya semau dia.



Wahai, saudariku, tak masuk akalkah jika kuberitahukan padamu bahwa jika engkau bertanya tentang tujuan hidupmu tidakkah lebih baik menanyakannya langsung kepada Dzat yang menciptakanmu? Sebagaimana pembuat kursi, saat orang-orang baru mengenal kursi maka yang paling tahu fungsi kursi itu ialah pembuatnya. Maka ketahuilah, saudariku, Allah kPencipta kita, Tuhan Alam Semesta, telah menyampaikan kepada kita bahwa tujuan kita hanya untuk beribadah.

Tentunya, kita harus mafhum (memahami) dulu apa itu ibadah? Apakah hanya shalat saja? Puasa saja? Haji saja? Atau, lebih dari itu?
Nah, memahami masalah agama jangan asal comot ya, sebab agama ini adalah agama Allah k, dan Allah ktelah menetapkan jika ingin memahami agama ini maka harus berlandaskan Al-Qur’an dan hadits (sunnah) Nabi Muhammad n berdasarkan pemahaman para salaf (sahabat, ahlul bait, tabi’in, tabi’ut tabi’in, para ulama salaf, pent-).
Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan (Lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 17, at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53). Secara terminologi, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama tentang makna ibadah, yang pada hakikatnya semua definsi itu saling melengkapi. Di antaranya mereka menjelaskan bahwa ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya yang disampaikan melalui lisan para rasul-Nya (Lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 17).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah juga menerangkan bahwa ibadah itu mencakup ketundukan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta membenarkan berita yang dikabarkan-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 45)
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa ibadah adalah puncak perendahan diri yang dibarengi dengan puncak kecintaan. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34]). Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Sebagian ulama mendefinisikan ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang disertai kesempurnaan sikap tunduk.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 34).
Syaikh Shalih al-Fauzan menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga unsur ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja, maka ini adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal rasa harap semata, maka ini adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35)
Ibadah juga diartikan dengan tauhid. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai maksud firman Allah (yang artinya), “Wahai umat manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian.” (QS. al-Baqarah: 21). Beliau menjelaskan, “Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/75])
\
Dan karena ibadah berkaitan dengan syari’at agama kita, maka ada tuntunannya, yaitu ibadah tersebut memenuhi 2 syarat: 1) Ikhlas, 2) Ittiba’ur Rasul (Mengikut sunnah Nabi n)). Dua syarat ibadah ini bukanlah suatu yang dibuat-buat oleh para ‘ulama semata-mata berdasar akal mereka melainkan dua syarat ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam firmanNya di ayat terakhir surat Al Kahfi dalam satu kesempatan sekaligus (yang artinya), “Sesunggunya Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia beramal ibadah dengan amalan yang sholeh dan tidak menyekutukan Robbnya dalam amal ibadahnya dengan suatu apapun“.(QS : Al Kahfi: 110).

Ibnu Katsir Asy Syafi’i rohimahullah seorang pakar tafsir yang tidak diragukan lagi keilmuannya mengatakan, ““Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.” Kemudian beliau mengatakan, “Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Shohih Tafsir Ibnu Katsir oleh Syaikh Musthofa Al Adawiy hafidzahullah hal. 57/III, terbitan Dar Ibnu Rojab, Mesir).
Ikhlas
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan “Niat adalah maksud yang diinginkan dari amal”( Lihat Jaami’ul Masaail oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah hal. 7). Ditempat yang lain beliau rohimahullah mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin.. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya”( lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon, muslim.or.id).
An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah menukil dalam kitabnya At Tibyan perkataan ustadz Abu Qosim Al Qusairiy rohimahullah, beliau mengatakan, “Ikhlas adalah engkau mentauhidkan/menuggalkan niatmu dalam keta’atan kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala yaitu engkau berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan amal ketaatanmu tanpa mengharapkan dari mahluk suatu apapun dari hal tersebut berupa pujian dari manusia dan lain sebagainya” (Lihat At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah hal. 50 dengan tahqiq Syaikh Abi Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abil ‘Ainain, terbitan Maktabah Ibnu Abbas, Mesir. Dengan sedikit perubahan redaksi, muslim.or.id)
Dzun Nun rohimahullah mengatakan, “Tanda ikhlas ada tiga, tidak ada bedanya bagi seseorang antara ia dipuji atau dicela seseorang atas amalnya, tidak menghiraukan pandangan manusia atas amalnya dan mengharap pahala dari amal yang ia kerjakan di akhirat” (Lihat At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah hal. 51, muslim.or.id)
Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dalam Beramal adalah Bukti Cinta pada Beliau
Sudah barang tentu seorang muslim cinta pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam nah bukti kalau kita cinta kepada Allah adalah ittiba’/mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi was sallam terutama dalam beramal, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Katakanlah (Wahai Muhammad) jika mereka mencintai Allah maka iktutilah aku (Muhammad) maka Allah akan mencintai kalian”. (QS. Al ‘Imron [3] : 31). Maka di antara konsekwensi dari mencintai Allah dan mengimani kerosulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam adalah mengikuti syari’at beliau yang tercakup di dalamnya ibadah. Bahkan mengikuti apa yang beliau perintahkan/syari’atkan merupakan salah satu hak beliau yang teragung yang harus kita tunaikan (Lihat Lihat Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 98, penyunting Syaikh Fahd bin Nashir bin Ibrohim As Sulaiman, terbitan Daruts Tsuraya, Riyadh, KSA, dan Huquq Da’at ilaihal Fithroh wa Qorrotha Asy Syar’iyah oleh oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 15 terbitan Darul Istiqhomah, Mesir, dengan perubahan dan peringkasan redaksi, muslim.or.id).
Lawan dari Ittiba’ adalah Ibtida’/Berbuat Bid’ah
Kebalikan dari bentuk cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berbuat bid’ah dalam agama. Hal ini terkadang tidak diketahui oleh seorang muslim yang mengaku cinta Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, padahal telah jelas bagi kita sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang melarangnya sebagaimana yang diriwayatkan dari jalur Aisyah di atas. Lihatlah peristiwa yang terjadi beberapa saat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sebagaimana yang dialami sahabat Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan dipimpin oleh seseorang. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan, “Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada.Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak.Bejananya pun belum pecah.Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad?Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?” Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”. Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya” (HR. Ad Darimi no. 204. Husain Salim Asad mengatakan sanad hadits ini jayyid, riwayat ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 2005, muslim.or.id).
Sedangkan Hassan bin ‘Athiyah rohimahullah seorang tabi’in mengatakan, “Tidaklah suatu kaum mengadakan suatu kebid’ahan kecuali akan hilang sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pent.) yang semisal dengan bid’ah tersebut”. Maka lihatlah wahai saudaraku betapa mengerikannya betapa buruknya bid’ah dan dampaknya di mata generasi utama dalam ummat ini (Perkataan beliau ini kami dapatkan dari muhadhoroh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah yang berjudul “Ad Du’a wa Atsaruhu” dalam sesi tanya jawab, muslim.or.id)
Semoga kita bisa mengenal dan semangat menjalankan tujuan hidup kita.
Allahul musta’an. (FA)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUNDA, JANGAN BERSENDIRIAN (PART 11 "Hadiah Istimewa Untuk Bunda Hebat")

  BUNDA, JANGAN BERSENDIRIAN Bunda, jangan merasa sendiri. Tentu karena memang kita tak pernah sendirian, sebab Allah ta’ala Maha Melihat dan Mengawasi kita. “Dan Allah bersama kamu (dengan ilmu-Nya) di mana saja kamu berada.” [QS. Al-Hadid: 4] Kemudian, Bunda, apa yang Bunda alami bukan hanya Bunda satu-satunya. Berdasarkan data berjalan 2020 dari Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta atau sekitar lima persen (Kemensos). Entah itu dari sisi intelektual, mental, sensorik, dan ganda/multi. Selain itu, Ketua Pusat Layanan Penyakit Langka di  Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo  atau RSCM, Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif Sp.A(K) menyebut diperkirakan ada 10 persen dari total penduduk atau sekitar 25 juta orang yang menderita penyakit langka di Indonesia. Bukankah angka yang cukup fantastis? Maka kuatkanlah hatimu, Bunda! Dan siapkan diri untuk mencari informasi dan komunitas. Minimal kita bisa mendapatkan ilmu tentang penanganan ...

MENGAMBIL HIKMAH (Part 2 "Hadiah Istimewa Untuk Bunda Hebat)

  HADIAH ISTIMEWA UNTUK BUNDA HEBAT Hadiah untuk para ibu yang diuji dengan kesehatan anak Penulis: UmA 2. Mengambil Hikmah Selalu ada hikmah dari setiap kejadian, mungkin agar kita lebih dewasa, atau seringkali agar kita sadar dan kembali meniti jalan kebenaran. Atau terkadang melalui kejadian tersebut, ada pembelajaran istimewa yang Allah ingin hadirkan dalam kehidupan. Itulah yang terjadi saat ujian demi ujian seolah bertumpuk-tumpuk memenuhi tenggorokan. Bunda, cobalah untuk terus berprasangka baik kepada Sang Pencipta. Itulah langkah awal untuk mendidik jiwa ketika musibah menyapa. Sebab prasangka baik akan bernilai pahala dan membuahkan kebahagiaan serta kebaikan. Sebaliknya, berprasangka buruk dan mencela takdir-Nya hanya akan menyisakan kesempitan serta membawa diri dalam jurang keputusasaan. Buruk sangka hanya akan membuat hidup ke depannya lebih sulit, masalah lain pun akan bermunculan. Sungguh, itu terjadi. Mungkin, terus menjaga prasangka baik itu berat, tapi teruslah m...

KISAH KESABARAN DAN KESYUKURAN SAHABAT (PART 10 "Hadiah Istimewa Untuk Bunda Hebat")

  Kisah Kesabaran dan Kesyukuran Sahabat Kisah Kesabaran dan "Suatu hari, aku pernah berada di daerah perbatasan, wilayah Arish di negeri Mesir. Aku melihat sebuah kemah kecil, yang dari kemahnya menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang sangat miskin. Lalu aku pun mendatangi kemah yang berada di padang pasir tersebut untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Kemudian aku melihat seorang laki-laki. Namun bukan laki-laki biasa. Kondisi laki-laki ini sedang berbaring dengan tangan dan kakinya bunting, telinganya sulit mendengar, matanya buta, dan tidak ada yang tersisa selain lisannya yang berbicara. Dari lisannya orang itu mengucapkan, “Ya Allah berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat muliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.” Kemudian aku pun menemuinya, dan berkata kepada orang itu, “Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang engkau syukuri?” Kemudian laki-laki pemilik kemah itu menjawab, “Wahai saudara, diaml...