Kita Kalah Bukan Karena Musuh Kuat
Edgar Hamas | @edgarhamas | t.me/tulisanedgar | edgarhamas.tumblr.com
Syaikh Muhammad Al Ghazali suatu kali berkata, kira-kira begini, "Kaum Muslimin saat ini kalah bukan karena zionis kuat. Tapi karena Umat ini yang sedang lemah." Beliau mengumpamakan, "bukan musuh yang menjelma singa, tapi kita sendirilah yang menyusutkan diri jadi domba."
Sebab jatuhnya umat ini, sebagaimana ditulis Dr Abdul Halim Uwais dalam Buku 'Studi Runtuhnya 30 Negeri Islam', seringkali dilandasi faktor internal daripada eksternal. Andalusia contohnya. Runtuh bukan karena kaum muslimin tak berdaya, melainkan justru perpecahan di saat jaya.
Maka untuk berdaya lagi, tak melulu kita menyalahkan kekuatan-kekuatan eksternal yang menggebuk kita —meski memang itu salah satu faktornya— melainkan mestilah naik kelas. Malik bin Nabi mengatakan, umat ini tidak bisa berobat jika belum benar mendeteksi penyakitnya sendiri.
Salah satu obat penawar yang seringkali menjadi resep para Ulama dan pemimpin untuk kembali bangkit adalah dengan membangun persatuan. Persatuan ide, persatuan frekuensi. Persatuan visi, persatuan fokus Qadhiyah (problematika). Dan semua bakat harus diajak untuk berkolaborasi.
Ulama dengan tinta dan ajarannya. Pemimpin dengan kebijakan yang terang sesuai inspirasi Nabi. Sang seniman dengan syair-syair penggubah semangat, seorang bisnisman dengan kekuatan finansialnya. Hingga seorang ibu yang tiap hari mengisahkan cerita kebangkitan pada anak-anaknya.
Kolaborasi ini nyata terlihat dan terasa ketika Baitul Maqdis akan dibebaskan di era Nuruddin Zanki hingga Shalahuddin. Untuk membangkitkan umat, tak perlu semua orang. Cukup orang-orang yang jadi simpul-simpul umat, maka ia seperti generator penggerak mesin umat buat bergerak.
"Kemenangan itu ada syaratnya, dan kejatuhan itu ada sebabnya." Itu yang dijelaskan oleh Dr Raghib Sirjani ketika mentadabburi ayat "Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah..." (QS 3:137) Mari kita belajar dari sejarah untuk mencari resep-resep kebangkitan itu.
Edgar Hamas | @edgarhamas | t.me/tulisanedgar | edgarhamas.tumblr.com
Syaikh Muhammad Al Ghazali suatu kali berkata, kira-kira begini, "Kaum Muslimin saat ini kalah bukan karena zionis kuat. Tapi karena Umat ini yang sedang lemah." Beliau mengumpamakan, "bukan musuh yang menjelma singa, tapi kita sendirilah yang menyusutkan diri jadi domba."
Sebab jatuhnya umat ini, sebagaimana ditulis Dr Abdul Halim Uwais dalam Buku 'Studi Runtuhnya 30 Negeri Islam', seringkali dilandasi faktor internal daripada eksternal. Andalusia contohnya. Runtuh bukan karena kaum muslimin tak berdaya, melainkan justru perpecahan di saat jaya.
Maka untuk berdaya lagi, tak melulu kita menyalahkan kekuatan-kekuatan eksternal yang menggebuk kita —meski memang itu salah satu faktornya— melainkan mestilah naik kelas. Malik bin Nabi mengatakan, umat ini tidak bisa berobat jika belum benar mendeteksi penyakitnya sendiri.
Salah satu obat penawar yang seringkali menjadi resep para Ulama dan pemimpin untuk kembali bangkit adalah dengan membangun persatuan. Persatuan ide, persatuan frekuensi. Persatuan visi, persatuan fokus Qadhiyah (problematika). Dan semua bakat harus diajak untuk berkolaborasi.
Ulama dengan tinta dan ajarannya. Pemimpin dengan kebijakan yang terang sesuai inspirasi Nabi. Sang seniman dengan syair-syair penggubah semangat, seorang bisnisman dengan kekuatan finansialnya. Hingga seorang ibu yang tiap hari mengisahkan cerita kebangkitan pada anak-anaknya.
Kolaborasi ini nyata terlihat dan terasa ketika Baitul Maqdis akan dibebaskan di era Nuruddin Zanki hingga Shalahuddin. Untuk membangkitkan umat, tak perlu semua orang. Cukup orang-orang yang jadi simpul-simpul umat, maka ia seperti generator penggerak mesin umat buat bergerak.
"Kemenangan itu ada syaratnya, dan kejatuhan itu ada sebabnya." Itu yang dijelaskan oleh Dr Raghib Sirjani ketika mentadabburi ayat "Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah..." (QS 3:137) Mari kita belajar dari sejarah untuk mencari resep-resep kebangkitan itu.
Komentar
Posting Komentar