Langsung ke konten utama

Benarkah Akhir Tahun Hanya Kebiasaan?

Sumber: wahdah.or.id

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah tabaraka wata’ala atas nikmat indah yang terus menerus kita rasakan. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, tak terhingga nikmat-Nya. Dari yang kita pinta bahkan yang diberi-Nya tanpa kita pinta pun, sudahkah diri bersyukur kepada-Nya?

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk Khatamun nabiy, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu pula ahlul bait, sahabat, dan para pengikut beliau yang iltizam hingga yaumil akhir. Semoga kita termasuk di antara mereka.


Sahabat, akhir tahun telah tiba, kegiatan rutin tahunan pun mulai menyeruak kembali. Tapi, tahukah kita, bahwa di antara “kebiasaan” masyarakat di akhir tahun, ada yang merupakan bagian dari ‘ritual’ agama non Islam loh! Padahal, Allah ta’ala berfirman:


Katakanlah (Muhammad), "Wahai orang-orang kafir! aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." (TQS. Al kafirun: 1-6)


Ya, telah jelas dari Rabb yang kita sembah, yang kita muliakan, yang kita agungkan, bahwa agama kita dan non muslim itu berbeda, serta tidak saling mengikuti. Diarahkan pula oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau:


قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلممَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍفَهُوَ مِنْهُمْ


‘Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.’ (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Abi syaibah)


Al-Shan’ani mengatakan,

والحديث دال على أن من تشبه بالفساق كان منهم أو بالكفار أو المبتدعة في أي شيء مما يختصون به من ملبوس أو مركوب أو هيئة

“Dan hadis ini menunjukkan bahwa siapa yang meniru orang fasik atau orang kafir atau ahli bidah pada perkara yang menjadi ciri khas mereka, baik dari pakaian, tunggangan, rupa, maupun cara adalah bagian dari mereka.” (Sumber: markaz sunnah)


Tentu saja, ini menjadi sebuah larangan bagi kaum muslimin dan muslimah mengikuti perayaan-perayaan non muslim apatah lagi jika perayaan tersebut adalah bagian dari ritual agama mereka.


Al-Munawi mengatakan, “Di antara maknanya: siapa yang menyerupai orang-orang saleh maka dia termasuk golongan dan pengikutnya, dan akan dimuliakan sebagaimana orang-orang saleh dimuliakan. Dan siapa yang menyerupai orang fasik maka ia akan dihinakan (oleh Allah) seperti mereka.”


Allah ta’ala berfirman:


إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ


“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al bayyinah: 6)


Tentu kita tidak pernah berharap masuk ke dalam neraka yang panasnya 69 tingkat lebih panas dari panas dunia. Kena knalpot saja pun rasanya sudah sangat menyakitkan, bagaimana lagi dengan neraka? Wal ‘iyadzu billah!


Oleh sebab itu, larangan tasyabbuh ini adalah keselamatan akhirat dan menjaga kemuliaan Islam di dunia. Bukankah salah satu tanda cinta adalah mengikuti? Maka bukankah seharusnya seorang muslim/ah mengikuti Nabi-nya yang mengatakan:


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’


Anas Radhiyallahu anhu (Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan hadits ini) mengatakan, “Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda Rasûlullâh , ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’


Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, ‘Saya mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakr dan Umar. Saya berharap bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka meskipun saya tidak mampu melakukan amalan yang mereka lakukan,” (HR. Bukhari)


Maka bukankah sudah cukup bagi kita untuk mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?


—— Natal dan Tahun Baru ——


Natal secara bahasa berasal dari bahasa Portugis yang berarti kelahiran, biasa pula digunakan untuk acara-acara yang menyambut berdirinya atau kelahiran sebuah organisasi seperti “dies natalis”. Di bulan desember yang diperingati setiap tanggal 25, arti natal lebih kepada perayaan umat Nasrani (kristen) karena kelahiran Yesus yang mereka yakini sebagai ‘anak Tuhan’ (Save M. Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Lembaga Pengkajian kebudayaan nusantara/LPKN), 704).


Dari istilahnya sendiri, sudah dipastikan bahwa Natal adalah bagian dari ritual umat Nasrani memperingati hari lahir Yesus. Namun ternyata, melihat sejarah Natal, kita akan mendapati begitu banyak pendapat dan kontradiksi tentang tanggal 25 Desember yang dianggap sebagai hari lahir Yesus.


Dilansir dari buku Selamat natal karangan Andar Ismail, di dalam al-Kitab tidak ada pernyataan tentang tanggal hari kelahiran Yesus. Al-Kitab hanya menyetakan bahwa telah lahir seorang putra dari seorang yang perawan yaitu Maria yang bernama Yesus Kristus. Kemungkinan besar Yesus sebenarnya tidak lahir pada tanggal 25 Desember, hal ini dibuktikan dengan cerita tentang para gembala yang sedang menggembalakan hewan peliharaan mereka. Pada bulan Desember sampai bulan Januari, di daerah Timur Tengah justru mengalami musim dingin, sehingga sangat tidak masuk akal untuk mengembalakan hewan pada saat itu. Namun umat Kristiani tetap mempercayai Hari Natal adalah hari kelahiran Yesus.


Dalam Catholic Encylopedia, edisi 1911 yang berjudul “Christmas”, ditemukan kalimat yang tertulis sebagai berikut :

“Natal Bukanlah di antara upacara-upacara awal Gereja”.

Bukti tersebut menunjukkan bahwa pesta berasal dari Mesir dan perayaan ini diselenggarakan oleh para penyembah berhala dan jatuh pada bulan Januari, kemudian dijadikan hari kelahiran Yesus.


Umat Kristiani mengakui bahwa perayaan natal memang berasal dari sebuah tradisi yang dilakukan oleh bangsa Romawi yaitu merayaan kelahiran Dewa Matahari. Seperti yang kita ketahui, bahwa pada masa Romawi Kuno adalah sudah menjadi tradisi untuk menghormati dewa dan sukar untuk ditinggalkan oleh masyarakat Romawi yang sudah menjadi kristen. Hal tersebut, menjadi pengaruh yang sangat besar untuk bangsa- bangsa yang lain yang terus mengikuti tradisi yang mereka lakukan.


Intinya, natal adalah tradisi dan ritual agama penyembah berhala yang seharusnya tidak diikuti bahkan diselamati oleh kaum muslimin yang mengatakan “Allahu Ahad!”.


Allah ta’ala berfirman:


Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekuturmu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (TQS. Yunus: 35-36)


Maka apakah kita akan mengikuti orang yang menjalankan agama hanya berdasarkan persangkaan? Ataukah, kita akan mengikuti jalan kebenaran dari Yang Maha Menciptakan?


——

Sebuah fenomena


Sumber: hidayatullah.com


Sebuah fenomena yang hari ini kita saksikan adalah masyarakat yang tidak paham dengan identitas agamanya, atau mereka tidak memuliakan agama. Di satu sisi kita prihatin, di sisi lain menjadi motivasi terkhusus bagi para da’i sebab tidaklah umat Islam ini kehilangan jati diri melainkan karena kajahilan seorang muslim serta andil syubhat dan syahwat di tengah umat.


Di awal telah disebutkan: “barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari mereka”, sebuah peringatan agar kita tidak bermudah-mudahan mengenakan atribut ritual agama lain yang hal tersebut bisa membuat kita jatuh kepada dosa, dan yang buruk adalah ridha’ dengan agama mereka yang mengatakan “Allah memiliki anak”. Na’udzubillah. Hal ini akan mendekatkan seseorang kepada kekufuran.


Dan hari ini bisa kita saksikan, atas dasar “toleransi”, seorang muslim tak mengenal ‘izzah (kemuliaan) diri dan agamanya. Padahal Islam sudah sangat sempurna mengatur batas-batas toleransi yang tetap menjaga hak dan batasan-batasan Ar-rahman.


“Bagimu agamamu, bagiku agamaku”

Seperti itulah seorang muslim bersikap. Hal terkait urusan dunia adalah perkara mubah, tetapi terkait adat dan ritual keagamaan, cukuplah Islam sebagai “way of life”. 


Toleransi




Walaupun hari ini, seorang muslim yang menjalankan agamanya terkesan minoritas, tetaplah teguh. Allah ta’ala menjanjikan, “jika kamu menolong agama Allah, maka Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu,” (TQS. Muhammad: 7)


Sungguh kehidupan sejati adalah kehidupan akhirat, dan dunia ini adalah penjara bagi orang-orang beriman.


Allahul musta’an. (FA)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUNDA, JANGAN BERSENDIRIAN (PART 11 "Hadiah Istimewa Untuk Bunda Hebat")

  BUNDA, JANGAN BERSENDIRIAN Bunda, jangan merasa sendiri. Tentu karena memang kita tak pernah sendirian, sebab Allah ta’ala Maha Melihat dan Mengawasi kita. “Dan Allah bersama kamu (dengan ilmu-Nya) di mana saja kamu berada.” [QS. Al-Hadid: 4] Kemudian, Bunda, apa yang Bunda alami bukan hanya Bunda satu-satunya. Berdasarkan data berjalan 2020 dari Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta atau sekitar lima persen (Kemensos). Entah itu dari sisi intelektual, mental, sensorik, dan ganda/multi. Selain itu, Ketua Pusat Layanan Penyakit Langka di  Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo  atau RSCM, Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif Sp.A(K) menyebut diperkirakan ada 10 persen dari total penduduk atau sekitar 25 juta orang yang menderita penyakit langka di Indonesia. Bukankah angka yang cukup fantastis? Maka kuatkanlah hatimu, Bunda! Dan siapkan diri untuk mencari informasi dan komunitas. Minimal kita bisa mendapatkan ilmu tentang penanganan ...

MENGAMBIL HIKMAH (Part 2 "Hadiah Istimewa Untuk Bunda Hebat)

  HADIAH ISTIMEWA UNTUK BUNDA HEBAT Hadiah untuk para ibu yang diuji dengan kesehatan anak Penulis: UmA 2. Mengambil Hikmah Selalu ada hikmah dari setiap kejadian, mungkin agar kita lebih dewasa, atau seringkali agar kita sadar dan kembali meniti jalan kebenaran. Atau terkadang melalui kejadian tersebut, ada pembelajaran istimewa yang Allah ingin hadirkan dalam kehidupan. Itulah yang terjadi saat ujian demi ujian seolah bertumpuk-tumpuk memenuhi tenggorokan. Bunda, cobalah untuk terus berprasangka baik kepada Sang Pencipta. Itulah langkah awal untuk mendidik jiwa ketika musibah menyapa. Sebab prasangka baik akan bernilai pahala dan membuahkan kebahagiaan serta kebaikan. Sebaliknya, berprasangka buruk dan mencela takdir-Nya hanya akan menyisakan kesempitan serta membawa diri dalam jurang keputusasaan. Buruk sangka hanya akan membuat hidup ke depannya lebih sulit, masalah lain pun akan bermunculan. Sungguh, itu terjadi. Mungkin, terus menjaga prasangka baik itu berat, tapi teruslah m...

KISAH KESABARAN DAN KESYUKURAN SAHABAT (PART 10 "Hadiah Istimewa Untuk Bunda Hebat")

  Kisah Kesabaran dan Kesyukuran Sahabat Kisah Kesabaran dan "Suatu hari, aku pernah berada di daerah perbatasan, wilayah Arish di negeri Mesir. Aku melihat sebuah kemah kecil, yang dari kemahnya menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang sangat miskin. Lalu aku pun mendatangi kemah yang berada di padang pasir tersebut untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Kemudian aku melihat seorang laki-laki. Namun bukan laki-laki biasa. Kondisi laki-laki ini sedang berbaring dengan tangan dan kakinya bunting, telinganya sulit mendengar, matanya buta, dan tidak ada yang tersisa selain lisannya yang berbicara. Dari lisannya orang itu mengucapkan, “Ya Allah berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat muliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.” Kemudian aku pun menemuinya, dan berkata kepada orang itu, “Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang engkau syukuri?” Kemudian laki-laki pemilik kemah itu menjawab, “Wahai saudara, diaml...