sumber: tribunnews |
Sebelumnya kita telah
membahas tentang ibadah dan syarat diterimanya ibadah, maka kali ini kita akan
membahas ibadah yang sangat penting bagi kaum muslimin/muslimah yaitu shalat.
Rasulullah bersabda,
” إِنَّ أَوَّلَ مَا
يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ
صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسَرَ
فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى :
انَظَرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَيُكْمَلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيْضَةِ
ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ ” . وَفِي رِوَايَةٍ : ” ثُمَّ
الزَّكَاةُ مِثْلُ ذَلِكَ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ حَسَبَ ذَلِكَ ” .
“Sesungguhnya amal
hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila
shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila
shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat
wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala mengatakan, ’Lihatlah apakah pada
hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan
menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti
itu. (Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan)
seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.” ) (HR
Abu Dawud, no. 864, Ahmad 2: 425, Hakim 1: 262, Baihaqi, 2: 386. Al Hakim
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan tidak dikeluarkan oleh
Bukhari dan Muslim, penilaian shahih ini disepakati oleh Adz Dzahabi)
Shalat adalah pintu amalan-amalan kita, nanti setelah shalat selesai dihisab barulah amalan kita yang lain dihisab oleh Allah. Makanya, mengetahui tata cara, syarat sah, rukun, wajib dan sunnah shalat adalah hal yang penting untuk kita ketahui agar sempurna ibadah kita walaupun hal ini tentu membutuhkan usaha yang ekstra dan sepertinya akan sangat sulit meraih kesempurnaan shalat kita.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,Shalat adalah pintu amalan-amalan kita, nanti setelah shalat selesai dihisab barulah amalan kita yang lain dihisab oleh Allah. Makanya, mengetahui tata cara, syarat sah, rukun, wajib dan sunnah shalat adalah hal yang penting untuk kita ketahui agar sempurna ibadah kita walaupun hal ini tentu membutuhkan usaha yang ekstra dan sepertinya akan sangat sulit meraih kesempurnaan shalat kita.
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا
كُتِبَ لَهُ إِلاَّ عُشْرُ صَلاَتِهِ تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا
رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا
“Sesungguhnya
seseorang ketika selesai dari shalatnya hanya tercatat baginya sepersepuluh,
sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat,
sepertiga, separuh dari shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 796 dan
Ahmad (4/321), dari ‘Ammar bin Yasir. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan)
Kalau saudari bertanya
kenapa? Itu karena kekhusyu’an yang tak ada atau lemah dalam shalat kita. Tapi,
pembahasan kita kali ini tentang bagian shalat yang lain ya…
1.
Syarat
Sah Shalat
Agar
shalat menjadi sah, disyaratkan hal-hal berikut:
A. Mengetahui Masuknya Waktu
Berdasarkan firman Allah:
Berdasarkan firman Allah:
إِنَّ الصَّلَاةَ
كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“…
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.” [An-Nissa’: 103].
Tidak
sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah keluarnya
waktu kecuali ada halangan.
B. Suci dari Hadats Besar dan
Kecil
Berdasarkan firman Allah:
Berdasarkan firman Allah:
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah…”
[Al-Maa-idah: 6].
Dan
hadits Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ
صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ.
“Allah
tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci.”
C. Kesucian Baju, Badan, dan
Tempat yang Digunakan Untuk Shalat
Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:
Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan
Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].
Dan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ
الْمَسْجِدَ، فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ، وَلِيَنْظُرْ فِيْهِمَا فَإِنْ رَأَى
خَبَثًا، فَلْيَمْسَحْهُ بِاْلأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيْهِمَا.
“Jika
salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik
sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia menggosokkannya
dengan tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.”
Adapun
dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada ‘Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan berkata:
تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ
ذَكَرَكَ.
“Wudhu’
dan basuhlah kemaluanmu.”
Beliau
berkata pada wanita yang istihadhah:
اِغْسِلِيْ عَنْكِ
الدَّمَ وَصَلِّيْ.
“Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah.”
[Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/42, dan 428 no.
331)], Shahiih Muslim (I/261 no. 333), Sunan at-Tirmidzi (I/82 no. 125), Sunan
Ibni Majah (I/203 no. 621), Sunan an-Nasa-i (I/184)]
Adapun
dalil bagi sucinya tempat adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada para Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam masjid:
أَرِيْقُوْا عَلى
بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ.
“Siramlah
air kencingnya dengan air satu ember.”
Catatan:
Barangsiapa telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka shalatnya sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika shalat, maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya -seperti di sandal, atau pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat- maka dia harus melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika tidak memungkinkan untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib mengulang.
Barangsiapa telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka shalatnya sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika shalat, maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya -seperti di sandal, atau pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat- maka dia harus melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika tidak memungkinkan untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib mengulang.
Berdasarkan
hadits Abu Sa’id: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat lalu
melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas sandal-sandal
mereka. Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata, ‘Kenapa kalian
melepas sandal kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami melihat Anda melepasnya, maka
kami pun melepasnya.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan
mengatakan bahwa pada kedua sandalku terdapat najis. Jika salah seorang di
antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah membalik sandalnya dan
melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia gosokkan ke tanah. Kemudian
hendaklah ia shalat dengannya.’”[Sunan Abi Dawud]
D. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah:
Berdasarkan firman Allah:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا
زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid…” [Al-A’raaf:
31].
Yaitu,
tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah dengan
telanjang.
Juga
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ الله
صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.
“Allah
tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan
mengenakan penutup kepala (jilbab).” [Shahih Sunan Ibnu Majah, Abu Dawud,
At-Tirmidzi]
Aurat
laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib
Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:
مَا بَيْنَ السُّرَّةِ
وَالرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ.
“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [Irwaa’ul
Ghaliil (no. 271)], diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, Ahmad, dan Abu Dawud]
Dari
Jarhad al-Aslami, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat ketika
aku mengenakan kain yang tersingkap hingga pahaku terlihat. Beliau bersabda:
غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ
الْفَخِذَ عَوْرَةٌ.
“Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha adalah
aurat.” [Shahih lighairihi: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 269)], Sunan at-Tirmidzi
(IV/197 no. 2948), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/52 no. 3995), lihat
perkataan Ibnul Qayyim t tentang masalah ini dalam Tahdziibus Sunan (XVII/6)]
Sedangkan
bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya dalam shalat.
Berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ.
“Wanita adalah aurat.” [Shahih: [Shahiih
al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6690)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/ 319 no. 1183]
Juga
sabda beliau:
لاَ يَقْبَلُ الله
صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah
pernah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan kain penutup.” [Shahih:
[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/345
no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan Ibni Majah (I/ 215 no.
655)]
E. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ
“…
maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian)
berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…” [Al-Baqarah: 150].
Juga
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk dalam
shalatnya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى
الصَّلاَةِ فَأَسْبِعِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ.
“Jika
engkau hendak shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna. Kemudian menghadaplah
ke Kiblat…” [Muttafaq ‘alayh]
Boleh
(shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang
sangat dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.
Allah
berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ
فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika
kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan…” [Al-Baqarah: 239].
Ibnu
‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap ke Kiblat atau tidak menghadap ke
sana.”
Nafi’
berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma menyebutkan hal
itu melainkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Muwaththa’ Imam Malik,
Shahih Bukhari]
Dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam shalat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja dan shalat Witir
di atasnya. Namun, beliau tidak shalat wajib di atasnya.” [Muttafaq ‘alayh]
Catatan:
Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.
Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.
Dari
‘Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu malam
yang gelap dan kami tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari
kami shalat menurut arahnya masing-masing. Ketika tiba waktu pagi, kami
ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah
ayat:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا
فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
“…
maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah…” [Al-Baqarah:
115].”[Ibnu Majah, At-Tirmidzi; hasan]
F. Niat
Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang hendak ia kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat sunnahnya [16]. Tidak disyari’atkan mengucapkannya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkannya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya. Sebelumnya beliau tidak melafazhkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan, “Aku shalat untuk Allah, shalat ini, menghadap Kiblat, empat raka’at, sebagai imam atau makmum.” Tidak juga mengucapkan, “Tunai atau qadha’…”
Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang hendak ia kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat sunnahnya [16]. Tidak disyari’atkan mengucapkannya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkannya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya. Sebelumnya beliau tidak melafazhkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan, “Aku shalat untuk Allah, shalat ini, menghadap Kiblat, empat raka’at, sebagai imam atau makmum.” Tidak juga mengucapkan, “Tunai atau qadha’…”
Ini
semua adalah bid’ah. Tidak seorang pun meriwayatkannya dengan sanad shahih atau
dha’if, musnad atau pun mursal. Tidak satu lafazh pun. Tidak dari salah seorang
Sahabat beliau, dan tidak pula dianggap baik oleh Tabi’in, ataupun Imam yang
empat. [Zaadul Ma’aad]
[Disalin
dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul
Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama
Ramadhan 1428 – September 2007M]
\\
Komentar
Posting Komentar