Langsung ke konten utama

QnA Seputar Puasa Syawal


Ketentuan Secara Umum:

Puasa ini merupakan salah satu puasa raatibah (yang mengikuti) bulan ramadhan, dan waktunya terikat (muqayyadah) dengan bulan syawal, tepat setelah menyempurnakan puasa wajib dalam bulan ramadhan. Jumlah puasanya adalah enam hari, boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak.

Q: Kapan Mulainya Puasa Syawal?

A: Waktunya dimulai dari 2 syawal sampai akhir syawal.

Q: Apa hukum puasa Syawal?

A: Hukumnya sunnah.
▶Dalil sunatnya puasa ini adalah hadis Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر
Artinya : ” Barangsiapa yang berpuasa ramadhan (secara sempurna) lalu melengkapinya dengan puasa enam hari dari bulan syawal, maka (pahalanya) seakan-akan ia telah berpuasa setahun penuh”.(HR. Muslim dalam shahihnya)

▶Hadis yang senada dengan ini juga diriwayatkan dalam hadis Tsauban radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وصيام ست من شوال بشهرين فذلك صيام سنة
Artinya : “Puasa Bulan Ramadhan menyamai (pahala) puasa sepuluh bulan,dan puasa enam hari bulan syawal menyamai (pahala) puasa dua bulan, maka semuanya menyamai (pahala) puasa satu tahun penuh” (HR. Nasai dalam as-sunan Al-Kubra)

Makna ” al dahr ” dalam hadis pertama diatas adalah “tahun” sebagaimana ditafsirkan oleh hadis kedua karena dalam bahasa arab kata ” al dahr ” yang bermakna harfiyah “sepanjang zaman” kadang dimaksudkan sebagai “satu tahun”. Jadi keutamaan puasa ramadhan dan puasa sunat syawal ini adalah laksana puasa satu tahun penuh (12 bulan) karena ramadhan menyamai 10 bulan dan enam hari syawal menyamai 2 bulan.

Dari hadis diatas kita bisa menyimpulkan hukum-hukum puasa syawal ini sebagai berikut ;
Para ulama rahimahumullah telah berbeda pendapat tentang hukum puasa syawal, dan hadis diatas telah cukup sebagai dalil istihbab / sunatnya puasa ini, pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan sebagian besar para ulama, dan mereka diselisihi oleh Imam Malik yang berpendapat bahwa puasa syawal hukumnya makruh dengan dalil agar puasa bulan ramadhan tidak disambung dengan puasa yang bukan merupakan bagian dari bulan ramadhan.

Dalam Kitabnya “Al Muwaththa’ (1103) ”  Imam Malik rahimahullah menegaskan bahwa ia belum mendapati seorangpun dari kalangan ahli ilmu dan ahli fiqh melakukan puasa syawal, dan belum sampai kabar kepadanya dari seorang salaf bahwa mereka berpuasa syawal, dan bahwasanya ahli ilmu memakruhkan puasa ini karena khawatir ia merupakan suatu bid’ah dan juga khawatir  jangan-jangan orang-orang jahil dan ahli ghuluw (orang-orang yang berlebih-lebihan dalam ibadah) menyambung puasa ramadhan dengan puasa yang tidak termasuk dari ramadhan.
Kesalahan pendapat Imam Malik dalam masalah ini (bahwa puasa syawal makruh) disebabkan beberapa kemungkinan ;
1.Hadis sunatnya puasa syawal ini belum sampai kepada beliau,
2.Atau hadisnya telah sampai kepada beliau namun dengan jalur yang tidak shahih menurutnya,
3.Atau hadisnya sampai kepada beliau dengan jalur shahih namun ia melihat bahwa amalan ahli madinah menyelisihi hadis ini sehingga beliaupun tidak berpendapat dengannya.
Namun, tentu hadis keutamaan puasa enam hari syawal ini tetaplah tsabit / shahih, adapun pendapat para ulama maka ia perlu dicarikan hujjah/dalil dan tidak dijadikan sebagai hujjah (karena hujjah hanyalah Al Quran dan Sunnah). Wallaahu a’lam.

Q: Apakah boleh berpuasa Syawal jika kita memiliki hutang puasa di bulan Ramadan?


A: Puasa enam hari bulan syawal tidak boleh dan tidak sah dilakukan kecuali dengan terlebih dahulu menyempurnakan puasa ramadhan secara penuh., ini sesuai keumuman redaksi hadis ((Barangsiapa yang berpuasa ramadhan lalu melengkapinya….)).
✔ Jika   seseorang  memiliki utang puasa ramadhan, maka ia tidak dibenarkan untuk berpuasa sunat syawal kecuali terlebih dahulu mengqadha/mengganti puasa ramadhan yang ia tinggalkan tersebut.
Namun sebagian ulama membolehkan untuk berpuasa sunat termasuk puasa syawal sebelum qadha ramadhan secara mutlak ,diantara mereka adalah Sa’id bin Jubair,  dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya,  dengan dalil bahwa orang yang memiliki utang qadha puasa ramadhan dengan uzur syar’i, sebenarnya telah sempurna puasa ramadhannya karena orang yang meninggalkan suatu kewajiban karena adanya uzur syar’i tetap dianggap melakukan kewajiban tersebut, walaupun ia tetap wajib menggantinya/ mengqadhanya.
Pendapat kedua ini juga merupakan pendapat Aisyah radhiyallahu’anha secara zahir sebab beliau pernah menunda qadha puasa ramadhan hingga tiba bulan sya’ban, dan jauh kemungkinan jika beliau tidak berpuasa sunat selama rentang waktu 11 bulan (antara ramadhan  sampai bulan sya’ban).

Boleh mengqadha puasa sunat syawal ini dibulan lain jika ada uzur syar’i, seperti seorang wanita yang bersalin / nifas diakhir ramadhan atau diawal syawal sehingga nifasnya menghalanginya untuk berpuasa sunat syawal sampai bulan Dzulqa’dah atau Dzulhijjah. Atau jika wanita tersebut nifas dalam awal atau pertengahan ramadhan, maka  jika ia telah suci ,hendaknya ia mengqadha puasa ramadhan terlebih dahulu lalu berpuasa sunat syawal walaupun bulan syawal telah lewat.

Dalil yang paling jelas dari masalah ini adalah bahwasanya puasa sunat syawal merupakan puasa raatibah/ yang mengikuti  bulan ramadhan yang waktunya muqayyadah/terikat pada bulan syawal, dan semua sunat raatibah (mengikuti yang wajib) boleh di qadha/diganti jika ditinggalkan karena adanya udzur syar’i, misalnya :  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqadha shalat sunat ba’diyah zuhur pada waktu setelah shalat ashar padahal ini adalah sunat rawatib yang terikat (muqayyadah) dalam waktu tertentu (yaitu waktunya selepas zuhur saja), maka demikian pula puasa sunat rawatib ; puasa enam hari syawal boleh diqadha diselain bulan syawal kalau ada uzur syar’i.

Namun apabila ia suka mengundur-undur qadha puasa enam hari syawal ini (padahal nifasnya telah habis) sehingga sampai pada bulan muharram misalnya, maka kita katakan padanya bahwa waktu qadha puasa enam syawal telah lewat karena ia tidak bersegera mengqadhanya, ini sama halnya jika seseorang lupa shalat sunat rawatib zuhur,lalu mengingatnya setelah ashar namun ia tidak bersegera mengqadhanya setelah ashar hingga sampai waktu magrib, maka waktunya telah lewat.

✏Syaikh Ibnul-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila diumpamakan bahwa qadha puasa Ramadhannya seseorang mencakup seluruh bulan Syawal, Misalnya seorang wanita nifas (dalam satu Ramadhan penuh) dan tidak berpuasa sama sekali dalam Bulan Ramadhan, dan ia mulai mengganti puasa Ramadhan pada awal syawal, dan puasa qadhanya tersebut tidak selesai hingga masuk Bulan Dzul-Qa’dah, maka ia tetap puasa enam hari syawal (dalam bulan Dzulqa’dah) dan ia tetap mendapatkan pahala pelaksanaannya dalam bulan Syawal, karena ia menunda pelaksanaannya tersebut dengan sebab darurat, sedangkan ia memiliki udzur/halangan, sehingga ia tetap mendapatkan pahala“. (Majmu' Fatawa 19/20)

Q: Apakah puasa Syawal harus dilakukan berurutan?

A: Tidak wajib melakukan puasa enam hari syawal ini secara berurutan, seandainya seseorang melakukannya secara tidak berurutan maka puasanya tetap sah, dan ini sesuai keumuman redaksi hadis (( …. puasa enam hari dibulan syawal)), akan tetapi yang lebih utama dan sempurna adalah ia melakukannya secara berurutan agar tidak dihalangi oleh beberapa hal yang bisa menghalangi dirinya dari puasa, dan Allah ta’ala juga telah berfirman :
( فاستبقوا الخيرات … )
Artinya : “Berlomba-lombalah dalam kebaikan”. (QS Al Maidah ; 48)
Ayat ini sebagai dalil bahwa seorang muslim hendaknya bersegera dalam beramal shalih dan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya dan tidak boleh menunda-nundanya tanpa ada alasan yang tepat. Wallaahu a’lam.

Q: Bolehkah menggabungkan niat puasa qadha' dan puasa syawwal?
Masalah ini di kalangan ulama dikenal dengan masalah tasyrik (menggabungkan dua ibadah dalam satu niat). Hukumnya adalah jika termasuk wasail atau ibadah yang saling berkaitan, maka ibadahnya sah, dan kedua ibadah tersebut terhitung telah tertunaikan. Seperti, jika seseorang mandi junub pada hari jum’at dengan niat mandi jum’at dan mandi junub. Maka ia dianggap telah bersih dari hadast akbar/junub tersebut dan memperoleh pahala mandi jum’at.

Jika salah satu dari dua ibadah tersebut tidak diniatkan (ghairu maqshudah) dan yang lainnya diniatkan secara langsung, maka boleh digabung dan hal itu tidak berpengaruh pada ibadah tersebut. Misalnya shalat tahiyatul masjid dengan shalat fardhu atau shalat sunnah lainnya. Tahiyatul masjid tidak diniatkan secara langsung (ghairu maqshudah bidzatiha), tapi yang dimaksud (diniatkan) adalah memuliakan tempat (masjid) dengan shalat, dan hal itu telah terlaksana. 1

Adapun menggabung niat dua ibadah yang dimaksudkan secara dzatnya; semisal shalat –fardhu-dzuhur- dan rawatib-nya, atau seperti shiyam fardhu baik ada’ maupun qadha, kaffarat ataupun nadzar dengan shiyam sunnah seperti shiyam 6 hari syawal, maka tidak sah. Karena masing-masing ibadah tersebut berdiri sndiri dan terpisah dengan yang lainnya. Masing-masing ibadah tersebut dimaksudkan secara dzatnya dan bukan merupakan bagian dari ibadah yang lainnya (sehingga tidak dapat digabung. Jika digabung; tidak sah).

Qadha Shiyam Ramadhan dan puasa yang lainnya dimaksudkan secara dzatnya. Demikian pula dengan shiyam enam hari diu bulan syawal juga dimaksudkan secara dzatnya. Karena kedua puasa tersebut (puasa ramadhan + puasa enam hari syawal) setara dengan puasa setahun, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih. Sehingga tidak sah jika keduanya digabung (pelaksanaannya) dalam satu niat.

Kesimpulan (red): Puasa qadha dan puasa syawal tidak digabung. Jika digabung, tidak sah. Wallahu a’lam.

(sumber:http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=6579)

Dijawab oleh Ust. Maulana La Eda, L.c.
Sumber dari: https://wahdah.or.id/ringkasan-fiqh-puasa-enam-hari-syawal/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PELIPUR LARA (Part 1 "HADIAH ISTIMEWA UNTUK BUNDA HEBAT")

  HADIAH ISTIMEWA UNTUK BUNDA HEBAT Hadiah untuk para ibu yang diuji dengan kesehatan anak Penulis: UmA Muqaddimah Bismillahirrahmanirrahiim Dengan memohon pertolongan Allah ta’ala kami memulai buku saku sederhana ini. Buku yang kami harapkan dapat menjadi teman dan pengingat. Tidak ada yang kami harapkan kecuali ridha Allah ta’ala atas karya sederhana ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah teladan terbaik, termasuk ketika menghadapi ujian.  Buku ini hadir karena pengalaman pribadi yang ingin saling menguatkan terutama kepada para Bunda yang dihadiahkan anak istimewa. Begitu banyak pergolakan, penolakan, penerimaan, pemaafan, hingga perjuangan untuk melangkah maju yang bunda-bunda rasakan. Kami berharap semoga setiap langkah berbuah manis di sisi Allah ta’ala. Ini pertama kali kami menyusun buku sehingga pasti banyak kekeliruan dan kekurangan, semoga pembaca bisa memaafkan khilaf kami. Tentu pembahasan tentang perkar

TENTANG PILIHAN ALLAH (Part 3 "Hadiah Istimewa Untuk Bunda Hebat")

  HADIAH ISTIMEWA UNTUK BUNDA HEBAT Hadiah untuk para ibu yang diuji dengan kesehatan anak Penulis: UmA 3. Tentang Pilihan Allah “Sabarlah dengan ujian ini, kamu adalah wanita pilihan”, kurang lebih begitulah bunyi kalimat penyemangat yang sering disampaikan kepada para bunda yang sedang diuji dengan anak mereka. Sekilas, kalimat ini memang tampak meotivasi, tapi tahukah? Ternyata bagi para bunda yang sedang dalam proses menjalani ujian menemani buah hatinya dalam masa-masa kritis ternyata kalimat ini membuat mereka sedih dan tak terima. Sebut saja Bunda A, yang harus menemani sang anak selama 4 bulan di Rumah sakit dengan perjuangan stoma* anak yang sangat butuh perhatian. Ya, awal masuk Rumah sakit karena usus buntu pecah dan cukup parah sehingga harus kolostomi, ditambah terpapar covid ketika dirawat sehingga operasi tutup kolostomi pun harus terus tertunda, perjalanan batin sang ibu tentu penuh dengan dinamika. Dan ia pun berkata, “Jika orang bilang ‘kamu dipilih’, saya tidak perna

IRINGI DENGAN KETAATAN (PART 5 "Hadiah Istimewa untuk Bunda Hebat")

  Iringi dengan Ketaatan Penulis: umA “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia  berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran .” (Terjemah Q.s. Al-Baqarah: 186) Allah ta’ala pasti akan mengabulkan do’a selama seseorang menjauhi hal-hal yang menyebabkan do’a itu terkatung-katung atau tertolak, misalnya makanan dan pakaian haram. Di sisi lain, Allah ta’ala pun membocorkan sebab-sebab do’a itu mudah dimakbulkan. Selain dengan memenuhi adabnya, juga mengiringi do’a itu dengan ketaatan. Allah  Ta’ala  juga berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِين َ “ Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar ”  (QS. Al Baqarah: 153) Dalam konteks ayat tersebut