Kisah Kesabaran dan
Kemudian aku melihat seorang laki-laki. Namun bukan laki-laki
biasa. Kondisi laki-laki ini sedang berbaring dengan tangan dan kakinya
bunting, telinganya sulit mendengar, matanya buta, dan tidak ada yang tersisa
selain lisannya yang berbicara.
Dari lisannya orang itu
mengucapkan,
“Ya Allah berilah aku
ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku.
Dan Engkau sangat muliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.”
Kemudian aku pun
menemuinya, dan berkata kepada orang itu,
“Wahai saudaraku, nikmat
Allah mana yang engkau syukuri?”
Kemudian laki-laki pemilik kemah itu menjawab,
“Wahai saudara, diamlah. Demi Allah, seandainya Allah datangkan lautan, niscaya
laut tersebut akan menenggelamkanku atau gunung api yang pasti aku akan
terbakar atau dijatuhkan langit kepadaku yang pasti akan meremukkanku. Aku
tidak akan mengatakan apapun kecuali rasa syukur.”
Aku kembali bertanya,
“Bersyukur atas apa?”
Laki-laki pemilik kemah itu menjawab lagi,
“Tidakkah engkau melihat Dia telah menganugerahkan aku lisan yang senantiasa
berdzikir dan bersyukur. Di samping itu, aku juga memiliki anak yang waktu
sholat ia selalu menuntunku untuk ke masjid dan ia pula yang menyuapiku. Namun
sejak tiga hari ini dia tidak pulang kemari. Bisakah engkau tolong carikan
dia?”
Aku pun menyanggupinya dan pergi untuk mencari anaknya. Setelah
beberapa saat mencari, aku mendapati jenazah yang sedang dikelilingi oleh
singa. Ternyata anaknya laki-laki itu sudah dimakan oleh singa.
Aku pun bingung bagaimana caraku untuk mengatakannya kepada
laki-laki pemilik kemah itu. Aku pun kembali dan berkata kepadanya,
“Wahai saudaraku, sudahkah engkau mendengar kisah tentang Nabi
Ayub?”
Laki-laki itu menjawab, “Iya, aku tahu kisahnya.”
Kemudian aku bertanya lagi, “Sesungguhnya Allah telah memberinya cobaan dalam
urusan hartanya. Bagaimana keadaannya dalam menghadapi musibah itu?”
Ia menjawab, “Ia menghadapinya dengan sabar.”
Aku kembali bertanya, “Wahai saudaraku, Allah telah menguji Ayub dengan
kefakiran. Bagaimana keadaanya?”
Ia menjawab, “Ia bersabar.”
Aku kembali bertanya, “Ia pun diuji dengan tewasnya semua anak-anaknya,
bagaimana keadaannya?”
Ia menjawab, “Ia tetap bersabar.”
Aku kembali bertanya, “Ia juga diuji dengan penyakit di badannya, bagaimana
keadaannya?”
Ia menjawab dan bailk bertanya, “Ia tetap bersabar. Sekarang katakan padaku di
mana anakku?”
Kemudian aku berkata,
“Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan
telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala
bagimu dan menyabarkan engkau”
Kemudian Laki-laki pemiliki kemah ini mengatakan,
“Alhamdulillah, yang Dia tidak meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat
kepada Allah sehingga ia diazab di neraka.”
Kemudian ia menarik napas panjang lalu meninggal dunia. Aku pun membaringkannya
di tangannya dan berpikir apa yang harus aku perbuat. Aku sendirian dan
bagaiman aku mengurus jenazah ini. Kemudian aku tutupi dengan jubahku dan
beberapa saat kemudian lewat empat orang laki-laki mengendarai kuda.
Mereka berkata, “Wahai saudara, apa yang terjadi padamu?”
Kemudian aku pun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami dan aku
meminta bantuan kepada mereka untuk mengurus jenazah laki-laki ini. Mereka
bertanya, “Siapa dia?”
Lalu aku menjawab, “aku juga tidak mengenalnya, dia dalam keadaan sakit dan
memprihatinkan,”
Kemudian keempat laki-laki ini meminta untuk membuka penutup
wajahnya, karena mungkin salah satu dari mereka mengenalnya. Ketika aku membuka
penutup wajahnya, tiba-tiba mereka tersentak, lalu mencium dan menangisinya,
dan berkata, “Subhanallah, wajah yang senantiasa bersujud kepada Allah. Mata
yang selalu menunduk atas apa yang diharamkan Allah. Tubuhnya selalu sujud
tatkala orang-orang dalam keadaan tidur”.
Aku pun bertanya, “Kalian kenal dengan laki-laki ini?”
Mereka menjawab, “Engkau tidak mengenalnya?”
Aku menjawab bahwa aku tidak tau siapa laki-laki ini. Kemudian
mereka berkata,
“Ini adalah Abu Qilabah, sahabat dari Ibnu Abbas. Laki-laki ini, pernah
dimintai oleh khalifah untuk menjadi seorang hakim. Namun, ia menolak jabatan
tersebut.”
Perlu diketahui bahwa jabatan hakim atau qadhi ini adalah suatu jabatan khusus,
di mana mereka akan mengatur hukum dan menentukan hukum di antara manusia. Ini
merupakan jabatan yang mulia pada saat itu. Namun, Abu Qilabah menolaknya dan
pergi ke wilayah Mesir hingga wafat dalam keadaan seperti ini.
Kemudian Abdullah bin Muhammad bersama
empat laki-laki tadi pun memandikan, mengkafani, dan menyholatkannya, sebelum
akhirnya memamkamkan beliau. Dikatakan dalam kisah lain bahwa Abu Qilabah ini
adalah sahabat Rasulullah terakhir pada masa itu, sehingga khalifah ingin
menjadikannya seorang hakim.
Wallahu a’lam. (Sumber: merdeka.com)
Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian
generasi setelahnya (tabi’in) kemudian generasi setelahnya (atba’ut tabi’in)”
(HR. Bukhari dan Muslim, shahih). Begitu banyak pelajaran dan hikmah serta
teladan dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk kisah
ini. Merekalah manusia yang paling mengenal Allah ta’ala di bawah bimbingan
Nabi yang mulia. Mereka mengetahui dengan yakin bahwa akhirat-lah sebaik-baik
tempat berharap.
=====================================
Komentar
Posting Komentar