Di antara syubhat pengasuhan anak yang biasa kita dengarkan:
“Anak saya dulu juga ngga saya didik tapi besarnya baik,”
“Dulu anaknya mba fulanah ditelantarkan sekarang besarnya sukses juga, bagus juga..”
“Itu anaknya ustaz Fulan, orang tuanya jungkir balik ngurusin tapi jatohnya nakal juga,”
“Hidayah itu milik Allah, udah biarin aja anaknya (melakukan sesukanya),”
——
Bismillah.. saya mencoba sharing ilmu yang semoga bermanfaat.. hasil telaah saya terhadap beberapa kondisi yang terjadi. Jika ada kekeliruan, mohon dikoreksi via japri ya 😊.
Beberapa pertanyaan atau pernyataan di atas kadang terdengar atau terlintas di hati seorang ibu. Saat kita -sebagai ibu- mendengarkan atau merasakan sendiri perasaan seperti itu, apa yang akan kita jawab? (Kadang-kadang kita ‘kan berdialog dengan hati kita sendiri ya?)
Jika kita menjawab, “iya ya? Berarti anak saya nggak usah dididik gitu? Atau bagaimana ya?” Mungkin masih ada kebimbangan dalam diri kita sendiri karena belum pernah mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas keluarga yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pelayan adalah pemimpin terhadap harta milik tuannya dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan akan bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mari kita garis bawahi: “seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya,”
Maka, anak adalah bagian dari tanggung jawab sang ibu. Dalam hal ini mendidik anak. Walaupun peran ini adalah kewajiban kedua orang tuanya, tetapi ibu sebagai pihak yang “seharusnya” paling banyak berinteraksi dengan anak memiliki porsi yang penting untuk diperhatikan.
Anak merupakan objek dakwah kita yang paling utama. Karena kita (ibu) semua sebenarnya adalah da’iyah (penyeru) ilallah (ke jalan Allah). Bukankah kita ingin berkumpul bersama keluarga kita di surga? Maka ingatlah firman Allah ini:
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thur:21)
Berdasarkan tafsir: Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram)
“Orang-orang yang beriman dan diikuti oleh anak-anak mereka dalam keimanan, maka Kami pertemukan mereka dengan anak-anak mereka agar hati mereka menjadi senang meski anak-anak mereka tidak mencapai amal perbuatan mereka. Dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal perbuatan mereka. Setiap manusia terikat oleh amal perbuatan buruk yang dilakukannya, tidak ada sedikitpun dari amalnya itu yang diambil darinya oleh orang lain.”
MasyaAllah, betapa rahmat Allah ta’ala sangat besar. Perlu kita garis bawahi pula kata “orang-orang yang beriman” dan “anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan”.
Maka poin pertama yang penting kita pahami: Mendidik anak bukan tentang nantinya anak kita kaya, sukses dunia, punya kedudukan, atau “tampak baik” untuk diceritakan kepada orang lain. Tetapi, ini adalah bagian tanggung jawab/amanah yang akan Allah ta’ala minta pertanggung jawabannya. Bukan untuk meletihkan hati kita (walaupun letih itu biasa), tetapi agar kita ingat dan sadar bahwa anak adalah amanah, bagian dari ujian, untuk kita dakwahi agar beriman.
Maka, usaha dan hasil adalah 2 hal yang berbeda sebagaimana kisah Nabi Nuh. Apakah dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam gagal disebabkan anaknya tidak beriman? Wallahu a’alam.. menurut penjelasan ulama yang kami dengarkan, jawabannya tidak. Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak gagal. Bahkan Allah ta’ala menjadikan Nabi Nuh ‘alaihissalam di antara Nabi yang bergelar Ulul Azmi disebabkan kesabaran beliau dalam menghadapi kaumnya. Dan kisah beliau diangkat menjadi 1 surah sendiri di dalam Al-qur’an. MasyaAllah.
Benar, penting pula dicatat oleh orang tua bahwa hidayah itu milik Allah ta’ala. Allah-lah yang memberi taufiq kepada manusia, termasuk anak-anak kita. Tetapi apakah kita sudah maksimal dalam mendidik mereka? Apakah kita sudah tiada henti mendo’akan mereka? Menyiapkan waktu khusus untuk mendo’akan anak kita?
Bu, kita tidak akan mampu menggerakkan anak kita kecuali atas taufiq dari Allah ta’ala. Perjalanan hidup kita dan anak anak kita pun masih menjadi rahasia ghaib. Hanya saja, selama nafas kita masih ada atau nafas anak kita masih ada, harapan itu selalu ada. Mungkin, saat kita wafatlah anak kita mendapatkan hidayah. Kesuksesan dunia itu hanya pemanis saja. Sebab, kesuksesan terbesar kita adalah saat kita dan anak kita wafat dalam kondisi husnul khatimah dan berkumpul di jannah.
Bukankah demikian?
Wallahu a’lam
Allahul musta’an
Referensi tafsir: https://tafsirweb.com/10037-quran-surat-at-tur-ayat-21.html
Komentar
Posting Komentar